Jumat, 14 September 2012

Sayang kok protective??

Orang kadang berlebihan menyayangi sesuatu, entah sayang dengan pasangan, anak, adik, kakak, sahabat, binatang peliharaan, atau benda sekalipun. Saking berlebihannya mereka tidak sadar kalau mereka bersikap berlebihan pada sesuatu yang mereka sayangi itu, protective, atau malah over protective. Tidak ada yang salah kalau kamu menyayangi mereka, yang salah adalah ketika sikap yang kamu anggap menunjukkan rasa sayang kamu itu ternyata membuat mereka tidak lagi merasa nyaman dengan sikap-sikap over protective kamu. Kita memang perlu melindungi semua yang kita sayang, tapi tidak perlu berlebihan. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan rasa sayang tanpa perlu bersikap over protective. Berikan mereka kepercayaan, bukan kecurigaan. Dukung kegiatan positif mereka, bukan melarang atau menghina apa yang ingin mereka lakukan. Nasihati kalau mereka salah, bukan introgasi layaknya polisi. Berikan mereka perhatian, bukan mengekang. 

Sedikit cerita, waktu SMA saya pernah punya pacar over protective. Sebelum pacaran, saya berteman dengan siapa pun. Gender tidak pernah menjadi alasan saya untuk berteman, karenanya teman lawan jenis saya (sepertinya) lebih banyak dari teman saya yang sejenis. Awal pacaran, pacar saya baik-baik saja dengan pertemanan saya dan teman-teman saya, sampai hubungan pacaran kami sekitar 1 atau 2 bulanan, dia mulai protes (marah) dengan kedekatan saya dan teman-teman lawan jenis saya, padahal jelas-jelas saya lebih sering bersama dia ketimbang berkumpul bersama teman-teman saya seperti sebelum saya pacaran. Dengan alasan sayang dan cemburu dia melarang saya berhubungan lagi dengan teman-teman lawan jenis saya, dan pada saat itu saya percaya dengan ucapan dia. Tanpa bermaksud menyinggung perasaan teman-teman saya, sedikit-sedikit saya mulai menjauh dari mereka dan sepertinya mereka pun mengerti dengan kondisi saya saat itu. Kemudian setelah lulus SMA, kami kuliah di Universitas yang berbeda. Hampir setiap hari kami bertengkar karena mayoritas mahasiswa di kampus saya adalah lawan jenis saya. Dia selalu curiga, jangankan untuk sekedar berkumpul dengan teman-teman kuliah saya, saya ikut lomba dengan lawan jenis saja harus selalu bertengkar. Kami mulai sering putus nyambung, lama-lama saya cape dan jenuh dengan dia. Pernah saya pergoki dia jalan berdua dengan lawan jenisnya yang tidak pernah saya kenal, saat itu saya benar-benar kaget dan kecewa pastinya. Saat itu juga kami putus entah yang ke berapa kalinya, dan entah yang ke berapa kalinya juga kami pacaran lagi. Saya masih saja menyayangi dia, dan mau pacaran lagi dengan dia walaupun saya masih belum bisa mempercayai dia seperti sebelumnya. Sampai akhirnya saya benar-benar jenuh dan tidak tahu kenapa rasa sayang saya untuk dia tiba-tiba saja hilang, mungkin tertutup dengan rasa sakit yang selalu dia tanam, dan kami pun benar-benar putus. Setelah putus, mata saya seperti yang dibukakan oleh Tuhan, sekitar seminggu / 2 minggu kami putus, dia sudah pamer pacar barunya, lalu saya mendengar kabar dari teman saya kalau dia dekat juga dengan orang lain selain pacarnya yang sekarang, dan tidak menutup kemungkinan sewaktu dia pacaran dengan saya dia melakukan hal yang sama.

Teman saya juga pernah cerita tentang ayahnya yang over protective padanya, kebetulan saya kenal baik dengan ayah teman saya ini. Seperti ayah-ayah lainnya, ayah teman saya ini sangat perhatian dan baik pada anak-anaknya, yang membedakannya dengan ayah lain, sikap dan cara beliau menyayangi anak-anaknya. Entah bagaimana tapi orang lain yang bukan anaknya pun dapat melihat itu. Sangat wajar ketika teman saya cerita kalau dia sangat mengidolakan ayahnya dan kelak dia ingin memiliki suami seperti ayahnya, walaupun kadang dia tidak merasa nyaman dengan sikap over protective ayahnya. Dia selalu yakin sikap over protective ayahnya itu semata-mata karena ayahnya khawatir padanya. Sampai akhirnya tanpa sengaja dia mengetahui sisi lain kehidupan ayahnya. Tak pernah terpikirkan sebelumnya, dia akan mengobrol di telepon dengan anak yang memanggil ayahnya dengan sebutan “papa” dan mendengar kakaknya mengobrol dengan wanita yang menyebutnya ayahnya “suami”. Saat dia dan kakaknya menanyakan wanita dan anak itu, ayahnya tak pernah mengaku, malah mereka dimarahi ibu mereka karena telah menuduh ayahnya. Sejak saat itu teman saya tak lagi mengidolakan ayahnya, terlebih-lebih memiliki suami seperti ayahnya. Bukan tanpa alasan sikapnya langsung berubah, karena setelah kejadian itu tanpa sengaja dia menemukan banyak bukti yang mendukung tuduhannya pada ayahnya itu. Dan setelah kejadian itu pula, sadar atau tidak sikap ayahnya semakin protective padanya dan sepertinya dia mulai menghindari ayahnya untuk menahan amarah yang tidak mau dia keluarkan demi menjaga perasaan ibunya. Dia bahkan cerita kalau sikap over protective ayahnya itu bukan semata-mata wujud kasih sayangnya saja, tapi untuk menutupi kebohongannya juga.

Cerita di atas cuma berbagi pengalaman saja, belum tentu yang dialami saya dan teman saya sama dengan yang kamu alami. Tidak selamanya protective itu buruk. Mungkin memang benar protective merupakan salah satu cara untuk sebagian orang menunjukkan rasa sayang mereka, tapi lihat juga situasi dan kondisinya. Selama itu membuat satu sama lain nyaman, rasanya tidak ada yang salah. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar